Banyumas - Nama Prof. KH. Saifuddin Zuhri barangkali lebih dikenal sebagai Menteri Agama era Presiden Soekarno atau penulis buku legendaris Berangkat dari Pesantren. Namun jauh sebelum itu, kiprahnya dalam barisan muda Nahdlatul Ulama, khususnya Gerakan Pemuda Ansor menjadi tonggak penting bagi arah pergerakan NU yang lebih dinamis, progresif, dan penuh semangat kebangsaan.
Lahir di Sokaraja, Banyumas pada 1 Oktober 1919 dari keluarga petani religius, Saifuddin Zuhri telah menunjukkan kepemimpinan sejak belia. Pada usia 19 tahun, ia dipercaya menjadi Pemimpin Ansor Nahdlatul Ulama Daerah Jawa Tengah Selatan. Saat itu, Ansor bukan hanya organisasi pemuda, melainkan sayap revolusioner NU yang bergerak aktif dalam pusaran perjuangan kemerdekaan.
“Ansor adalah sayap revolusioner NU,” ujar KH. Saifuddin Zuhri dalam salah satu catatan sejarah. Penilaian ini bukan tanpa dasar. Di tengah polemik internal NU terkait atribut pemuda seperti dasi, genderang, dan terompet—yang kala itu dianggap ‘kebarat-baratan’—KH. Saifuddin Zuhri justru mendobrak kebekuan. Ia membela semangat kepemudaan dan modernitas yang melekat pada Ansor sebagai bentuk semangat zaman dan nasionalisme santri.
Bukan hanya sebagai pemimpin organisasi, KH. Saifuddin Zuhri juga terjun langsung ke medan perang. Ia menjadi Komandan Divisi Hizbullah Jawa Tengah dan ikut dalam pertempuran heroik di Ambarawa bersama Kol. Soedirman. Dalam babak penting revolusi fisik itu, Hizbullah dan Ansor menjadi representasi pemuda santri yang tidak gentar mengangkat senjata demi tanah air.
Peranannya di tubuh NU pun tidak kalah penting. Pada usia 35 tahun, ia dipercaya menjadi Sekretaris Jenderal PBNU, usia yang sangat muda untuk posisi strategis tersebut. Ia membuktikan bahwa masa depan NU bertumpu pada kader muda yang visioner dan militansi, sebagaimana semangat Ansor yang dia tanamkan sejak awal.
Sebagai tokoh politik, wartawan, dan penulis produktif, ia tidak pernah lepas dari identitas kepemudaan yang merakyat dan religius. Dalam buku-bukunya, terutama Berangkat dari Pesantren, KH. Saifuddin Zuhri tidak hanya menulis sejarah, tapi juga mewariskan semangat: bahwa pesantren dan pemuda bukanlah simbol masa lalu, melainkan api perjuangan yang terus menyala.
Kini, warisan perjuangan KH. Saifuddin Zuhri hidup dalam semangat GP Ansor dan Banser yang tetap teguh menjaga NKRI, agama, dan tradisi. Ia bukan hanya tokoh NU, tapi pelopor bahwa pemuda adalah nafas perubahan.
"Kalau pemuda NU tidak berani berdiri di depan, maka NU akan berjalan di tempat," begitu semangat yang selalu dia wariskan.
EmoticonEmoticon